Debar jantungku menghilang seiring dengan tapak kakimu yang
menjauh. Kudapati hatiku telah memar dengan luka yang berdarah-darah. 5 detik
kemudian kurasakan hantaman mahadahsyat yang berhasil meluluh lantakkan segenap
perasaanku menjadi atom-atom kecil. Hatiku terbunuh. Kau berhasil mematahkan
hati yang susah payah kupahat dengan titik-titik air mata yang luruh. Aku menyerah.
Kau menang! Ya. Kau menang!
Kini
kau bisa melihatku tertekur dengan kedua lutut yang mencium tanah. Aku benar-benar
kalah.
Atas nama hujan yang memaksaku melenyapkan tanda tanya antara
kita, aku tak bisa menelan mentah-mentah pertanyaanku sendiri.
Aku tak mau beranjak dari tempatku berlutut sebelum kau
membuka topengmu. Sebelum kau katakan siapa namamu. Dan sebelum aku mendengar
sendiri mengapa kau melakukan ini.
Aku kurang paham dengan maksud tulisan tanganmu yang dengan lancang
memvonisku bersalah. Berbulan-bulan kau membiarkanku meringkuk di
dalam getar geletar rasa yang tak begitu jelas. Lalu mengapa akhirnya kau yang
menghakimi aku? ini tak adil. Sungguh.
Duduklah sejenak! Dengarkan kalimatku baik-baik. Katakanlah siapa namamu. Selepas itu, kau boleh pergi semaumu. Sesederhana itu, bukan?